Buku “Aksi Massa” karya Tan Malaka, yang diterbitkan pada 1926, merupakan salah satu karya penting dalam pemikiran revolusioner Indonesia. Tan Malaka, seorang intelektual Marxis dan pejuang kemerdekaan, menulis buku ini sebagai respons terhadap rencana pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ia menekankan pentingnya melibatkan massa rakyat secara luas dalam perjuangan, bukan sekadar aksi kecil yang ia sebut sebagai “putch”. Buku ini menjadi panduan strategi untuk merebut kekuasaan melalui gerakan massa yang terorganisir, di mana kehendak ekonomi dan politik rakyat menjadi motor penggerak utama.

Dalam “Aksi Massa”, Tan Malaka membedakan antara putch—aksi diam-diam oleh kelompok kecil tanpa dukungan rakyat—dengan aksi massa yang lahir dari kemelaratan dan penindasan kolektif. Ia menganalisis berbagai bentuk pemerasan di koloni seperti India, Filipina, dan Indonesia, serta menyoroti bahwa revolusi sejati hanya bisa berhasil jika didasari partisipasi aktif dari orang banyak. Pemikiran ini bertujuan mencegah kegagalan pemberontakan yang prematur, seperti yang terjadi pada PKI 1926-1927, dan menjadikan massa sebagai kekuatan utama dalam perlawanan terhadap imperialisme. Buku ini tidak hanya teori, tapi juga seruan praktis untuk membangun kesadaran kelas pekerja dan petani.
Karya Tan Malaka ini memiliki resonansi kuat dengan sejarah politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Pemikiran tentang aksi massa tercermin dalam berbagai gerakan rakyat, seperti Reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru melalui demonstrasi massal mahasiswa dan masyarakat sipil. Konsep ini menekankan bahwa perubahan politik tidak bisa datang dari elite semata, melainkan harus didorong oleh kekuatan dari bawah, yang sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan ekonomi dan korupsi sistemik.
Di tengah kondisi politik Indonesia saat ini pada September 2025, ide-ide Tan Malaka dalam “Aksi Massa” terasa semakin relevan. Gelombang demonstrasi yang dimulai sejak 25 Agustus 2025, dipicu oleh protes terhadap kenaikan gaji DPR dan berkembang menjadi “17+8 Tuntutan Rakyat”, mencerminkan aksi massa yang autentik. Masyarakat bergerak secara kolektif untuk bersama-sama memperjuangkan hak keadilan dan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik.
Pemikiran Tan Malaka dalam Aksi Massa mengajarkan bahwa perjuangan rakyat bukan hanya soal turun ke jalan, tapi tentang membangun kesadaran bersama untuk mereset sistem agar lebih adil. Kalau dulu perjuangan berarti melawan penjajahan, sekarang bisa berarti mendorong pemerintah agar lebih transparan, jujur, dan berpihak pada rakyat lewat pendidikan, literasi, dan partisipasi aktif masyarakat.